Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bakal memberlakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 32 tahun 2016 pada 1 April mendatang. Revisi tersebut bertujuan untuk memberi payung hukum serta aturan untuk operasional layanan taksi online atau transportasi roda empat (mobil) berbasis aplikasi.
Meski akan diberlakukan, revisi Permenhub tersebut ternyata masih terdapat kontroversi. Terutama adalah adanya poin aturan baru yang dianggap mempersulit beroperasinya layanan transportasi berbasis aplikasi.
Gara-gara revisi ini, tiga perusahaan besar penyedia layanan taksi online di Indonesia, yakni Go-Jek (Go-Car), Uber, dan Grab (Grab Car), sepakat mengeluarkan pernyataan bersama. Pernyataan itu berisi bagian-bagian mana dari revisi tersebut yang diterima, dan mana yang memunculkan keberatan.
Keberatan penyedia layanan
Ada tiga poin yang memicu keberatan, karena dinilai bakal menghambat eksosistem bisnis transportasi berbasis aplikasi.
Poin pertama dalam keberatan ini adalah soal rencana penetapan kuota armada transportasi online. Dalam revisi disebutkan, penentuan kuota dilakukan oleh Gubernur sesuai domisili perusahaan; dan kepala Badan Pengelola Transportasi Jakarta untuk Jabodetabek.
“Kami berpendapat hal tersebut tidak sejalan dengan semangat ekonomi kerakyatan berbasis teknologi. Kami percaya bahwa kuota jumlah kendaraan, baik pengguna aplikasi mobilitas maupun konvensional, tidak perlu dibatasi karena berpotensi menghadirkan iklim bisnis yang tidak kompetitif,” demikian disebutkan dalam surat bersama itu.
Poin kedua adalah keberatan mengenai adanya aturan tarif atas-bawah. Go-Jek, Grab, dan Uber sepakat menyatakan keberatan terhadap adanya pengaturan ini karena menganggap teknologi sudah cukup untuk memberi perhitungan harga yang akurat.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa penentuan tarif itu hanya akan membuat masyarakat kesulitan mendapatkan layanan transportasi dengan harga terjangkau.
"Kami menilai penentuan batas biaya angkutan sewa khusus yang direncanakan akan ditetapkan oleh Gubernur sesuai wilayah ketersediaan layanan tidak sesuai dengan semangat untuk menghadirkan kesepadanan harga tersebut," tulis ketiganya.
Poin ketiga adalah keberatan terhadap kewajiban kendaraan untuk terdaftar (BPKB) atas nama badan hukum atau koperasi. Keberatan tersebut dinyatakan oleh Go-Jek, Grab, dan Uber dengan landasan pemahaman bahwa mitra pengemudi diwajibkan mengalihkan kepemilikan kendaraan pada badan hukum atau koperasi.
Tanpa balik nama perusahaan, mitra pengemudi tidak dapat bekerja sama dengan Go-Jek, Grab, atau Uber untuk menyediakan layanan transportasi.
"Kewajiban ini bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan yang menjiwai badan hukum/koperasi yang menaungi para pengemudi dalam mencari nafkah. Pada akhirnya, kewajiban ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945," demikian tertulis dalam surat tersebut.
Poin yang disepakati
Meski keberatan terhadap tiga poin revisi Permenhub No. 32 tahun 2016, Go-Jek, Grab, dan Uber juga menyatakan sepakat untuk menerima poin aturan lainnya. Bahkan ketiga perusahaan berjanji untuk mempermudah pelaksanaan poin lain itu.
Salah satu poin yang diterima adalah soal rencananya pengaturan uji berkala kendaraan bermotor (KIR) dengan pemberian pelat berembos (tanda khusus). Poin ini disepakati karena memang berfungsi memastikan kenyamanan dan keselamatan berkendara.
Kemenhub sendiri telah melakukan uji publik untuk menjaring masukan terhadap revisi Permenhub No 32 Tahun 2016 itu. Pengujian pertama dilakukan di Jakarta, Jumat (17/2/2017), sedangkan uji kedua dilakukan di Makassar, Jumat (10/3/2017).
Total ada 11 poin aturan baru yang tertera pada revisi Permenhub No 32 tahun 2016. Menurut pihak Kemenhub sendiri, ada empat akar permasalahan di masyarakat terkait ride-sharing, yakni tarif, kuota, pajak, dan sanksi.
Keempat hal tersebut kemudian ditampung dalam 11 poin tersebut, yang kemudian ditanggapi oleh Go-Jek, Grab, dan Uber.
Ada empat poin utama yang dipaparkan Go-Jek, Grab dan Uber soal aturan taksi online, sebagaimana yang tercantum di bawah ini.
1. Kami menyepakati rencana peraturan tanda uji berkala kendaraan bermotor (KIR) dengan pemberian pelat berembos. Kami memandang peraturan tersebut merupakan salah satu upaya yang baik untuk memastikan kenyamanan dan keselamatan berkendara baik bagi para mitra-pengemudi maupun konsumen.
Untuk mendukung hal tersebut, kami berharap Pemerintah dapat memberikan dukungan berupa penyediaan fasilitas uji KIR yang dapat mengakomodir para mitra-pengemudi. Hal ini termasuk penyediaan antrean khusus bagi para mitra-pengemudi untuk memudahkan dan mempercepat proses pengurusan uji KIR dan fasilitas uji KIR bekerja sama dengan Agen Pemegang Merek (APM) atau pihak swasta.
Kami berkomitmen untuk mendukung pemerintah dengan memberikan informasi secara aktif, efektif, dan transparan kepada mitra pengemudi, juga bekerja sama dengan mitra perusahaan/koperasi untuk membantu beban keuangan para mitra-pengemudi akan biaya uji KIR, sehingga hal ini tidak menjadi beban pemerintah.
Kolaborasi ini akan menjadi solusi yang jitu dan memudahkan para mitra-pengemudi pengguna aplikasi mobilitas untuk menghadirkan layanan mereka secara maksimal sekaligus menciptakan disiplin berkendara sesuai dengan cita-cita pemerintah.
2. Terkait dengan rencana penetapan kuota jumlah kendaraan, kami berpendapat hal tersebut tidak sejalan dengan semangat ekonomi kerakyatan berbasis teknologi. Kami percaya setiap orang di Indonesia memiliki hak untuk berpartisipasi dan meningkatkan kesejahteraannya melalui ekonomi digital yang memungkinkan mereka untuk mengakses kesempatan ekonomi yang fleksibel.
Selain itu, kami percaya bahwa kuota jumlah kendaraan, baik pengguna aplikasi mobilitas maupun konvensional, tidak perlu dibatasi karena berpotensi menghadirkan iklim bisnis yang tidak kompetitif.
Pada akhirnya, hal ini akan merugikan masyarakat terkait pilihan mobilitas yang andal dan kesempatan menjadi micro-enterpreneur dalam bidang transportasi. Kami percaya jumlah kendaraan baik yang memanfaatkan aplikasi mobilitas maupun konvensional akan ditentukan oleh permintaan dan kebutuhan konsumen.
3. Terkait dengan penetapan batas biaya perjalanan yang dipesan melalui aplikasi mobilitas, kami memandang bahwa teknologi telah memungkinkan berbagai produk dan layanan untuk menghadirkan penghitungan harga yang akurat, sesuai dengan kondisi permintaan dan ketersediaan untuk memastikan harga yang dibayarkan konsumen untuk barang dan layanan tersebut sepadan nilai yang diberikan layanan tersebut kepada konsumen. Hal ini akan membuat masyarakat terkendala untuk mendapatkan layanan terjangkau.
Kami menilai penentuan batas biaya angkutan sewa khusus yang direncanakan akan ditetapkan oleh Gubernur sesuai wilayah ketersediaan layanan tidak sesuai dengan semangat untuk menghadirkan kesepadanan harga tersebut.
4. Terkait kewajiban kendaraan terdaftar atas nama badan hukum/koperasi, kami menolak sepenuhnya karena kewajiban ini berarti mitra-pengemudi wajib mengalihkan kepemilikan kendaraan kepada badan hukum/koperasi pemegang izin penyelenggaraan angkutan. Tanpa melakukan balik nama, mitra-pengemudi kehilangan kesempatan untuk memberikan jasanya kepada para konsumen.
Selain itu, kewajiban ini pada kenyataanya tidak berhubungan sama sekali dengan masalah keselamatan. Kewajiban ini pun tidak diamanatkan oleh undang-undang dan ketidakpatuhannya tidak menyebabkan dijatuhkannya sanksi.
Sebaliknya, kewajiban ini bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan yang menjiwai badan hukum/koperasi yang menaungi para pengemudi dalam mencari nafkah. Pada akhirnya, kewajiban ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.